Paradigma cartesian-newtonian yg dilahirkan dari pemikiran Rene Descartes dan Sir Isaac Newton dipercaya telah menghegomoni pemikiran segala aspek, tidak terlepas dalam dunia pendidikan, cara pandang ini juga disinyalir telah menimbulkan permasalahan serius dalam sosial, sampai yg lebih complek lagi yakni masalah kemanusian.
Paradigma caertesian-newtonian ini memiliki ciri dualistik, mekanistik, daterminan, reduksionistik, anatomistik, instrumentalistik, materialistik dan saintifik. Ciri-ciri tentunya akan lumrah kita temuai dalam sepanjanh perjalanan praktik pendidikan kita. Standar-standar pendidikan yg kita perlakukan ditenggarai merupakan ngejewantahan dari paradigma ini.
Tanpa kita sadari, bahkan kita jadi menganut paham ini. Paradigma yang dinyatakan gagal dalam menjawab tuntutan jaman. Untuk dapat bertahan dalam arus globalisasi yg dahsat, tidak hanya mengedepankan rasionalitas dan logika keilmuan dalam menjadikan anak didik untuk menjadi manusia seutuhnya.
Persoalan emosi, spritual dan sosial bagaimanapun menyumbangkan banyak pengaruh terhadap kemampuan anak didik dalam mempersiapkan dirinya turut serta berperan dalam kehidupan modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai luhur yang sudah ada.
Adakah pendidikan holistik yang beberapa dasawarsa ini didengungkan untuk dapat menjawab kebutuhan pendidikan bagi anak didik. Dalam pendidikan holistik di tuntuk adanya pertimbangan aspek emosi, spritual maupun sosial kedalam satu satu pola pendidikan, dan tifak hanya mengngedepankan aspek saintifik yg terukur.
Pendidikan bukanlah sebuah bagian-bagian yg terpisah tetapi memandang keseluruhan kebutuhan peserta didik. Pengetahuannya berpotensi mempengaruhi emosi, spritual maupun sosialnya begitu juga sebaliknya. Mengisi secara penuh kebutuhan ragawi dan rohani peserta didik secara maksimal.
Bahkan selama ini kebutuhan pendidikan emosi, spritual dan sosial tersampaikan dalam bentuk "hidden curriculum" yang tak sengaja tersampaikan dalam bentuk tingkah laku guru yang kemudian ditiru oleh murid. ' guru kencing berdiri murid kencing duduk' merupakan ungkapan bukti keberadaan 'hidden curriculum'
Kurikulum 2013 dalam aspek penilaian terdapat penilaian terhadap aspek sikap, prilaku dan keterampilan. Pertanyaannya adalah, sanggup dan beranikah guru membuat indikator ketercapaian dari aspek-aspek?.
Diperlukan keberanian guru dalam merubah paradigma berpikir. Mengingat tingkah laku guru juga merupakan bagian pembelajaran yang akan ditiru oleh anak didiknya. "Guru digugu dan ditiru" ungkapan lama yang harusnya menjadi catatan bagi semua guru. Barangkali ungkapan ini sudah jelas bagaimana seorang guru harus memposisikan diri.
Sikap dan prilaku guru harus terukur, karena inilah pembelajaran sikap sesungguhnya, keteladan lebih berarti daripada transfer pengetahuan dengan belajar atau hanya sekedar membaca. Keteladanan inilah yang merubah 'hidden curriculum' menjadi kurikulum realiastik yang akan menjadi bagianntidak terpisahkan dari aiatem pembelajaran yang ada.
Guru harus mampu keluar dari pola pikir lama, guru harus mampu menjadi aktor dengan sikap prilaku yang terukur sesuai dengan visi misi sekolah. Karena inilah kurikulum sebenarnya yang akan di tiru oleh peserta didik dalambentya sikapnya.
Pada akhirnya harapan lahirnya insan-insan cendekia dengan akhlak mulia dari peserta didik kita tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengevaluasi dirinya, dirinya dengan sikapnya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan dari pola atau kurikulum pendidikan yang dijalankan.
Pendidikan holistik menuntut secara penuh seluruh komponen sekolah merupakan bagian terintegrasi dari sistem pendidikan yang dijalankan. Yang akan menjadi pembelajaran nyata bagi semua peserta didik.
Pola pendidikan yang berpusat pada siswa, menjadikan siswa menjadi magnet yang akan menarik semua lingkungan sekolah sebagai media pembelajaran untuk dirinya.
Muhammad Ilyas, M.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar